Dua kali EBS online yang lalu sudah membahas tentang ibadah dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu ibadah yang terlokalisir karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Hari ini kita akan mempelajari konsep ibadah kristiani yang lebih luas yaitu ibadah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Jika dikatakan tidak dibatasi ruang dan waktu, itu berarti ibadah kepada Tuhan sama sekali tidak terkungkung oleh pelaksanaan ritual penyembahan di gereja saja. Kehidupan yang beribadah bukan cuma berkaitan dengan ritualitas. Tetapi lebih dari itu, ibadah kristiani adalah hal yang berhubungan erat dengan kehidupan spiritualitas orang beriman di hadapan Allah.
Landasan Alkitab untuk konsep ibadah kristiani yang lebih luas ini adalah dari realitas bahwa orang percaya disebut sebagai bait Roh Kudus (1 Korintus 3:16; 6:19). Jika Roh Kudus tinggal dan menjadikan tubuh orang beriman sebagai bait-Nya, itu menandakan bahwa tidak ada satu waktu pun di mana Allah absen atau tidak hadir dalam kehidupan orang percaya. Di mana saja dan kapan saja, orang Kristen pada dasarnya selalu berada dalam suasana pergaulan dengan Allah. Kita tidak pernah berhenti berinteraksi dengan Allah karena Allah bukan pribadi yang jauh di sana di seberang langit biru melainkan Ia ada bersama dengan kita. Allah berkenan berdiam di dalam hidup kita. Karena itu, kehidupan ibadah yang sesungguhnya adalah kehidupan yang dijalani dengan kesadaran bahwa kita hidup bersama dengan Allah, kita senantiasa ada di hadapan Tuhan (Coram Deo). Spiritualitas kristiani yang sejati tidak lain adalah sikap dan perilaku kehidupan yang selalu menyembah Allah dengan cara menghormati kemuliaan-Nya, menjaga kekudusan nama-Nya, dan mengalami serta menikmati kehadiran-Nya di semua tempat, di setiap waktu dan dalam seluruh kegiatan hidup kita. Inilah ibadah yang sejati, yaitu ibadah yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ada dua karakteristik penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan beribadah yang sejati. Yang pertama adalah perihal integritas. Artinya harus ada keselarasan antara aspek internal yaitu hati kita yang tidak terlihat dengan aspek eksternal yakni sikap dan perilaku kita yang kelihatan. Kalau hati kita sudah benar-benar dibaharui oleh Roh Kudus, maka biarlah pembaharuan tersebut nampak secara nyata melalui tutur kata dan perbuatan-perbuatan kita. Kehidupan ibadah kristiani yang sejati adalah tanggung-jawab setiap orang Kristen untuk membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh telah mengalami karya pengudusan Allah. Kita harus hidup kudus, harus berbuat baik, harus menaati kebenaran dan kehendak Tuhan, karena hal-hal demikian adalah tugas dan panggilan Tuhan terhadap setiap orang percaya untuk memperlihatkan kesatuan dan kesepadanan antara aspek batiniah dengan aspek lahiriah. Jangan sampai kehidupan orang Kristen justru menunjukkan kenyataan yang bertentangan antara keduanya. Tuhan Yesus pernah melontarkan kritikan ketika Ia menilai peribadahan kaum Yahudi. Kristus melihat ada ketidaksesuaian antara fenomena keagamaan dengan hati yang terdalam karena “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku” (Matius 15:8). Di samping itu, ketidaksejalanan juga sering terjadi antara pengakuan (internal) dan kelakuan (eksternal). Ada orang yang mengaku diri sebagai orang Kristen tetapi hidup secara duniawi. Realitas kontradiktif seperti demikian jelas menyatakan kehidupan yang tidak ada nilai ibadahnya sama sekali. Hanya jika ada kesatuan antara hati yang takut akan Tuhan dengan perilaku hidup yang menaati Tuhan, barulah itu bisa disebut sebagai ibadah sejati.
Aspek kedua terkait erat dengan urusan totalitas. Ibadah dalam pengertian yang komprehensif sangat perlu ditandai dengan kehidupan yang bersifat holistik atau utuh. Roma 12:1 mengatakan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Ungkapan “mempersembahkan tubuhmu” sama sekali tidak bermakna hanya sebatas kehidupan lahiriah saja. Melainkan ini merupakan suatu penggambaran tentang dedikasi kehidupan orang percaya yang diserahkan secara total kepada Tuhan. Konsep keutuhan atau holistik berseberangan tajam dengan kondisi yang terkotak-kotak atau fragmentaris.
Seringkali orang Kristen menerapkan prinsip pembedaan atau dikotomi antara aspek sakral dan sekuler dalam menjalani kehidupannya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ruang lingkup gerejawi dianggap sebagai aspek yang sakral. Di area ini Tuhanlah yang bertahta, firman-Nya berotoritas mengatur dan menentukan, kehendak Tuhan yang diutamakan. Sedangkan dalam dunia bisnis, di tengah pekerjaan, di arena persaingan meraup keuntungan, untuk hal-hal yang bersentuhan dengan hobi, gaya hidup pribadi masing-masing dan lain sebagainya; Tentang semuanya ini, banyak orang Kristen yang melihatnya sebagai wilayah di luar jangkauan kewibawaan gereja. Ini termasuk bagian dari dunia sekuler. Di wilayah demikian, bukan Tuhan melainkan saya yang bertahta. Kehendak-ku yang berotoritas. Berbagai keputusan yang diambil dan sistem penentuan nilainya adalah berdasarkan standard saya. Di percaturan dunia sekuler ini intervensi Tuhan tidak diperlukan karena sayalah yang menjadi dasar acuannya. Inilah contoh cara berpikir dan pola perilaku yang tidak holistik, yang terkotak-kotakkan. Akibatnya bisa sangat merusak. Dengan menjalani kehidupan yang bersifat fragmentaris dan tidak alkitabiah ini, besar kemungkinan ada banyak orang Kristen yang nampak “alim” dalam gereja tetapi menjadi “lalim” di luar gereja. Kita harus belajar untuk terus menerus menyadari bahwa ibadah yang sejati sama sekali tidak bersifat fragmentaris. Sebab itu, dikotomi sakral dan sekuler harus dilenyapkan dari benak kita. Kiranya totalitas kehidupan kita senantiasa dijiwai oleh visi dan misi untuk hidup bagi kemuliaan Tuhan. Karena inilah cerminan dari ibadah yang sejati.