Mari kita menyimak cerita berikut ini yang dikutip dari buku karangan Paul E. Little, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akal dan Kekristenan, halaman 8-9. Sekali peristiwa, dua orang penyelidik menemukan sepetak tanah terbuka di hutan rimba. Banyak bunga dan rumput-rumputan yang tumbuh di tanah itu. Seorang di antara penyelidik itu berkata, “Pasti ada tukang kebun yang memelihara petak tanah ini.” Penyelidik yang lain berkata, “Tidak ada tukang kebun.” Terjadi perbedaan pendapat. Karena itu mereka mendirikan tenda di situ dan mulai mengadakan penyelidikan. Tetapi tidak ada seorang pun tukang kebun yang kelihatan. Lalu kata seorang dari kedua penyelidik itu, “Barangkali ia seorang tukang kebun yang tidak dapat dilihat.” Karena itu mereka mendirikan pagar kawat berduri di sekeliling tanah itu. Pagar itu dialiri listrik dan dijaga oleh anjing-anjing penjaga.
Walaupun demikian, tidak juga terdengar jeritan yang menandakan kekagetan seseorang yang menyentuh pagar beraliran listrik itu. Pagar duri itu tetap pada tempatnya dan tidak menyingkapkan rahasia dari pemanjat pagar yang tidak kelihatan itu. Anjing-anjing penjaga juga tidak pernah menyalak. Meskipun demikian, penyelidik yang beriman itu tetap tidak dapat diyakinkan oleh keadaan ini dan ia berkata, “Tetapi, pasti ada tukang kebun di sini yang tidak terlihat dan tidak merasakan adanya kejutan-kejutan listrik; seorang tukang kebun yang secara rahasia telah memelihara kebun yang dicintainya ini.” Akhirnya penyelidik yang skeptis itu putus asa dan berkata, “Apa yang masih tertingal dari pernyataanmu yang mula-mula? Sebetulnya apakah bedanya tukang kebun yang kau sebut tukang kebun yang tidak dapat dilihat, tidak dapat disentuh dan yang selama-lamanya sukar dipahami dengan tukang kebun khayalan atau malah dengan tukang kebun yang tidak ada sama sekali?”
Pada dasarnya cerita ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kepercayaan agamawi tentang keberadaan Tuhan sebagai figur ilahi adalah keyakinan yang kebenarannya patut diragukan. Bukankah pengajaran agama di dunia ini menyatakan bahwa Tuhan adalah pribadi yang sangat transenden, nun jauh di sana, bertahta di surga mulia di seberang langit biru. Tuhan tidak mungkin dapat dilihat secara visual oleh mata manusia namun Ia tetap ada. Eksistensi Tuhan jauh melampaui pembuktian menurut jalur pengenalan melalui lima panca indera manusiawi. Yaitu dilihat, diraba, dirasa, dicium dan didengar. Jika demikian, bagaimana manusia bisa berkeyakinan kokoh bahwa Tuhan itu benar-benar ada? Bagaimana kita dapat percaya dengan tanpa keraguan sama sekali bahwa Tuhan yang adalah pribadi ilahi itu bukan gagasan imaginatif manusiawi belaka?
Dalam iman Kristen keraguan tentang keberadaan Tuhan sudah dilenyapkan oleh satu peristiwa historis yang sangat penting yaitu peristiwa penjelmaan Allah menjadi manusia di dalam pribadi Yesus Kristus. Inkarnasi telah membuat Allah menjadi konkrit bagi manusia. Rasul Yohanes mengatakan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah…dan Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yohanes 1:1 & 14). Sebagai pribadi kedua dari Allah Tritunggal yang menjelma menjadi manusia, Yesus Kristus secara eksplisit mengungkapkan bahwa Allah bukanlah konsep khayalan religius. Inkarnasi membuktikan bahwa Tuhan itu sama sekali bukan ide ilahi yang abstrak melainkan pribadi ilahi yang nyata. Ia adalah pencipta, sumber kehidupan dan keselamatan manusia berdosa. Dengan menjelma menjadi manusia sejati, Tuhan Yesus menyatakan bahwa keberadaan diri-Nya terbuka terhadap pembuktian secara empiris melalui pengenalan manusiawi lewat lima panca indera. Kristus adalah figur Allah-manusia yang dapat dilihat, didengar, diraba dan disaksikan seperti yang ditegaskan oleh rasul Yohanes dalam surat 1 Yohanes 1:1. Inilah intisari dari Natal yang sesungguhnya: Ada Allah yang berkenan hidup di antara umat manusia demi untuk kebaikan dan keselamatan kita.
Sebab itu, setiap kali kita merayakan Natal, kiranya hati kita bisa senantiasa bersukacita karena memahami makna penting yang melekat pada peristiwa inkarnasi Allah menjadi manusia tersebut. Dengan kehadiran Kristus, Allah yang bersifat transenden, yang begitu jauh di luar jangkauan manusia sudah menjadi imanen, demikian dekat dengan kita. Melalui keberadaan Tuhan Yesus, Allah yang semula bersifat “invisible” atau tidak terlihat sudah disingkapkan secara riil. Ini sesuai dengan kebenaran yang tertulis dalam Yohanes 1:18 bahwa “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Perayaan Natal seharusnya mengingatkan kita bahwa Allah yang kita sembah dan imani adalah Allah yang hidup, Allah yang benar, pribadi konkrit yang telah mengasihi kita secara nyata di dalam dan melalui Yesus Kristus.