Corrie Ten Boom, seorang wanita Belanda yang saleh yang dikenang karena jasanya dalam menyelamatkan ratusan orang Yahudi pada masa pembantaian yang dilakukan oleh Hitler, pernah mengajukan pertanyaan yang menggelitik bagi orang Kristen yang masih memiliki kepekaan rohani. Ia berkata demikian “Apakah doa merupakan stir kemudi atau ban serep bagi kita?” (Is prayer your steering wheel or your spare tire?).
Jika pertanyaan ini dialamatkan kepada Yesus Kristus, jawabannya tidak bisa diragukan lagi bahwa doa merupakan disiplin rohani yang dipraktekkan secara konsisten dalam kehidupan dan pelayanan-Nya. Catatan keempat Injil tentang frekuensi doa Yesus yang berlimpah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa doa adalah kemudi hidup Yesus. Kehidupan Kristus yang memprioritaskan doa ialah hidup yang dikendalikan oleh doa, hidup yang dijiwai dan disemangati oleh doa. Karena itu, sekalipun Yesus adalah orang yang sangat sibuk dalam kegiatan pelayanan-Nya tetapi Ia tidak pernah membuat kesibukan sebagai alasan untuk tidak berdoa. Ketekunan Kristus berdoa adalah teladan rohani yang perlu dicontoh oleh setiap orang Kristen.
Bila pertanyaan Corrie Ten Boom di atas ditujukan pada kita, apakah ada tanda-tanda yang bisa menunjukkan bahwa doa adalah kemudi atas hidup kita? Atau sebaliknya, kita merasa ungkapan “doa adalah kemudi hidup” itu hanyalah harapan ideal, kerinduan kudus yang sulit terwujudkan! Sehingga ketika berbicara tentang kenyataan yang sebenarnya, doa tidak punya peranan lebih dari sebatas ban serep saja dalam kehidupan rohani kita. Kapan orang Kristen benar-benar berdoa? Bisa jadi pas kalau lagi butuh saja. Yaitu di saat sudah kepepet, ketika semua jalan lain sudah buntu, barulah di waktu-waktu krisis tersebut kita ingat Tuhan.
Pada saat berada dalam kondisi genting dan sangat membutuhkan pertolongan Tuhan, banyak orang Kristen yang menyiasati agar doanya bisa segera dikabulkan. Siasat rohani tersebut biasanya berupa kegiatan “meningkatkan kesalehan diri” yaitu dengan tiba-tiba jadi rajin bersaat teduh, giat ikut pelayanan, terdorong untuk memberikan persembahan, bahkan bisa jadi makin semangat berdoa dengan disertai puasa. Tujuan tunggal melakukan semuanya ini adalah supaya Allah menjawab doa-doa kita! Atau lebih tepatnya mengabulkan doa seperti yang kita inginkan. Tanpa disadari, doa dengan siasat rohani ini sudah tercemar oleh semangat antroposentris. Peningkatan kesalehan diri adalah sarana untuk membuat Allah terkesan terhadap kerohanian kita sehingga diharapkan supaya hati-Nya tergerak untuk memberikan jawaban “yes” terhadap segala permohonan doa kita.
Pada dasarnya, upaya peningkatan kesalehan diri ini adalah trik rohani untuk memanipulasi Allah. Tidaklah sulit mendeteksinya, cukup kembali pada pertanyaan: mengapa ada kegiatan seperti itu, apa motivasinya? Dan jawabannya sederhana saja. Upaya peningkatan kesalehan diri ini terjadi karena sedang ada pergumulan serius yang membutuhkan pengabulan doa. Untuk memenuhi syarat agar doanya disetujui maka perlu kesalehan diri yang ditingkatkan. Jadi, kemunculan upaya keras menjadikan diri semakin saleh hanyalah bersifat sesaat, cuma untuk sementara waktu saja. Jika tidak ada kebutuhan agar doanya dikabulkan Tuhan maka melayang lenyaplah segala usaha mensaleh-salehkan diri tersebut. Ada kebutuhan, ingat dan datang mendekat kepada Tuhan. Tidak ada kebutuhan, Tuhan segera dilupakan dan tidak dihiraukan. Jelaslah doa yang didasari oleh kebiasaan demikian, fungsinya tidak lebih dari hanya sekedar seperti ban serep saja. Jika Allah dicari dan disembah untuk diperalat. Bila Dia disenangkan untuk dimanipulasi agar mengikuti keinginan kita. Maka sebenarnya realitas demikian sudah memperlihatkan suatu praktek keagamaan yang bersifat antroposentris, yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan kita semata bukan untuk sungguh-sungguh bergaul, menyenangkan dan memuliakan Tuhan.
Bapak, Ibu dan Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan! Dengan bercermin pada kehidupan doa Kristus, marilah kita selaku para pengikut-Nya terus belajar untuk menjadikan doa sebagai setir kemudi dalam perjalanan kehidupan rohani kita. Ini berarti kita perlu mengutamakan doa dengan melatih diri untuk senantiasa bersekutu dan berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika doa berperan menjadi setir kemudi, maka doa harus dilakukan sebagai disiplin rohani, dipraktekkan sebagai gaya hidup kristiani dalam keseharian kita. Dengan cara demikian, doa akan berfungsi menjadi sarana anugerah yang tidak terabaikan.