Seorang pemikir pernah membandingkan dua realitas ini. Pertama, jika kita melihat panorama alam yang sangat indah, misalnya pegunungan, hutan dan lembahnya yang diselimuti oleh warna kehijauan menyejukkan, tebaran bunga-bunga di taman dengan aneka warna yg menyemarakkan hidup, kecantikan hamparan pantai yg mendatangkan keceriaan, kehidupan di bawah laut dengan beragam jenis ikan dan berbagai makhluk hidup lainnya yang demikian memukau, belum lagi segala keindahan yang ada di jagat raya yang begitu mengagumkan, dan masih banyak lagi macam keindahan lainnya. Setelah menikmati semua hal yang menakjubkan dari alam ini lalu ada orang yang berkesimpulan bahwa Allah tidak ada, maka itu adalah kebodohan terbesar.
Kedua, bila kita mendengar dan menyaksikan kejahatan yang mengerikan berupa pemusnahan 6 juta orang Yahudi di kamp konsentrasi pada masa Hitler berkuasa, banyaknya nyawa yang terenggut akibat kebocoran reaktor nuklir, peperangan yang menelan jutaan jiwa manusia, kekeringan dan kelaparan yang mematikan di benua Afrika, korban yang berjatuhan karena serangan bom teroris (di pesawat, di menara kembar WTC atau di tempat-tempat umum lainnya), kecelakaan demi kecelakaan, kerusuhan SARA yang mengakibatkan terjadinya pertumpahkan darah, kasus-kasus perkosaan biadab, praktek-praktek aborsi yang keji, pembunuhan berantai yang sadis, wabah virus covid 19 yang menyerang dan merampas nyawa manusia, dan berbagai jenis penderitaan lainnya. Sesudah melihat semua hal yang buruk dan jahat ini, lalu ada orang yang tetap berpegang teguh pada kesimpulan bahwa Allah ada, maka ini adalah kebodohan terbesar.
Problema kejahatan dan penderitaan merupakan tantangan terhadap keyakinan akan adanya Allah. Apakah masih masuk akal untuk percaya bahwa Allah ada sementara dunia ciptaan-Nya ini dikuasai oleh kejahatan yang dahsyat? Iman Kristen mengajarkan bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang maha kuasa dan maha kasih adanya. Tetapi, ketika diperhadapkan dengan masalah kejahatan, kedua sifat Allah ini justru mendapat serangan gencar dari kaum ateis. Argumentasinya begini: Jika Allah maha kuasa tentulah Ia mampu memusnahkan kejahatan. Dan bila Allah maha kasih pastilah Ia mau melenyapkan penderitaan. Namun faktanya kejahatan dan penderitaan tetap ada bahkan semakin intensif dan ekstensif. Sebab itu, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Allah tidak maha kuasa. Ia tidak mampu memusnahkan kejahatan. Dan Allah tidak maha kasih. Ia tidak mau melenyapkan kejahatan. Jadi, kebenaran tentang eksistensi Allah yang berkuasa dan mengasihi itu dengan sendirinya sudah tersangkali oleh problema kejahatan. Karena itu, menerima ajaran ateisme adalah pilihan alternatif yang lebih rasional.
Apakah Allah tidak maha kuasa dan tidak maha kasih? Betulkah Allah membiarkan kejahatan terus berlangsung? Bagaimana iman Kristen menanggapi problema kejahatan ini? Kekristenan percaya bahwa kejahatan adalah sesuatu yang riil, bukan ilusi. Kejahatan merupakan bukti keberadaan dosa yang telah merusak semua tatanan ciptaan yang pada mulanya dilihat oleh Allah sebagai amat baik. Manusialah yang menyebabkan dosa masuk ke dalam kehidupan di alam semesta ini melalui pemberontakkannya melawan Allah. Kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah titik historis berawal-mulanya segala penderitaan yang berkepanjangan ini.
Iman Kristen menolak konsep tentang keberadaan Allah yang terbatas. Allah tetap maha kuasa dan maha kasih sekalipun ada realitas kejahatan. Jika problema kejahatan belum termusnahkan, itu sama sekali tidak berarti bahwa Allah tidak mampu, juga tidak berarti bahwa Ia tidak mau. Allah adalah pribadi yang berdaulat, Ia adalah pencipta. Di dalam kedaulatan kuasa dan hikmat-Nya, Allah mempunyai rancangan untuk melenyapkan kejahatan menurut cara-Nya sendiri dan pada waktu yang telah ditetapkan-Nya. Seringkali cara kerja dan waktu Allah ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan manusia sehingga Dia divonis tidak mampu dan tidak mau. Namun kita perlu menyadari dengan serius bahwa selaku ciptaan kita harus menaklukkan dan menyelaraskan keinginan kita di bawah rencana Allah, bukan sebaliknya! Melalui Alkitab kita mengetahui dengan jelas bahwa Allah tidak pernah lepas tangan atau menghindar dari dilema kejahatan. Ia juga pasti tidak mungkin angkat tangan atau menyerah dalam menghadapi persoalan kejahatan. Demikian pula Allah tidak berpangku tangan atau hanya berdiam diri terhadap fakta adanya kejahatan dalam dunia ciptaan-Nya. Karena itu, jangan biarkan realitas kejahatan menggoyahkan iman kita kepada Allah.