Dalam EBS online kali ini, kita akan membicarakan topik mengenai pemahaman yang benar tentang janji Tuhan dalam hubungannya dengan doa. Setidaknya ada dua ayat yang dijadikan dasar keyakinan oleh orang Kristen sebagai janji Tuhan untuk pengabulan doanya. Kedua ayat tersebut adalah Matius 7:7-8 yang berbunyi, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” Ayat selanjutnya adalah Markus 11:24, “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.”
Kedua ayat ini merupakan ayat favorit bagi jemaat gereja. Karena nampaknya perkataan Tuhan Yesus di Matius 7:7-8 tersebut memberikan kesan bahwa pengabulan doa itu sangat bergantung pada keseriusan kita meminta, mencari dan mengetuk. Pokoknya asal minta, cari dan ketuk pasti akan mendapatkan respon positif terlepas dari entah bagaimana isi doa seseorang. Demikian pula dengan Markus 11:24. Ayat ini juga menimbulkan kesan bahwa jawaban doa itu sangat ditentukan oleh kekuatan keyakinan seseorang terhadap apa yang didoakannya. Asal kita mempunyai keyakinan yang kokoh bahwa doa kita akan dikabulkan, maka demikianlah terjadinya tidak peduli apa isi doanya. Melalui kedua ayat ini seakan-akan Kristus sedang memberikan selembar cek kosong yang sudah ditanda-tangani kepada orang Kristen. Terserah mereka mau tulis angka berapapun pasti akan dicairkan permintaannya. Kelihatannya enak dan bahagia sekali menjadi orang Kristen itu. Sudah ada garansi kepastian keselamatan, lalu sekarang ditambah lagi dg adanya jaminan kepastian pengabulan doa.
Namun sebelum terbawa lebih jauh oleh arus kesenangan dan kebahagiaan tentang kesan jaminan pengabulan doa tersebut, kita harus berpikir kritis dan serius dengan bertanya apakah benar kesan demikian itu. Bagaimana sesungguhnya pemahaman yg tepat terhadap kedua ayat tersebut. Mari kita memperhatikan penjelasan berikut ini.
Dua ayat di Matius 7:7-8 itu tidak pernah berdiri sendiri. Prinsip penafsiran Alkitab yang benar harus selalu menelaah kedua ayat ini dalam keterkaitan dengan konteksnya. Secara lebih dekat, kita bisa melihat bahwa konteks ayat 7 dan 8 itu diapit oleh ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Pada Matius 7:1-5, pesan yang disampaikan adalah agar kita jangan sembarangan dan serampangan menilai serta menghakimi orang lain secara tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Ayat 6 mengingatkan untuk memiliki kecermatan dalam penilaian kita supaya tidak menimbulkan dampak yang destruktif. Sedangkan Matius 7:9-11 menggambarkan Allah Bapa yang akan memberikan pemberian yang baik kepada anak-anak-Nya yang meminta dan membutuhkannya. Jadi, inti dari konteks yang lebih dekat ini adalah pemberitahuan kepada kita, bahwa supaya dapat menilai dan menghakimi secara tepat maka secara implisit hikmat sorgawi sangatlah dibutuhkan. Apalagi pada saat menghadapi orang-orang yang dapat menyesatkan kita. Matius 7:15 berkata, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” Kita sungguh membutuhkan pimpinan dan pedoman dari Tuhan sendiri untuk bisa mencermati dan membedakan antara para pengajar palsu dengan pengajar yang sejati. Bagaimana caranya memperoleh pimpinan dan pedoman yang bersumber dari hikmat sorgawi tersebut? Jelas dengan berdoa seperti yang dikatakan di 7 dan 8. Kalau orang percaya meminta, mencari dan mengetuk untuk mendapatkan hikmat sorgawi agar dapat menilai seseorang berkaitan dengan pengajaran dan kehidupannya secara tepat dan benar, bukankah ini adalah hal yang baik? Untuk kebaikan demikian ini, Bapa kita yang di sorga pasti akan menjawab permohonan doa kita.
Dengan memperhatikan konteks Matius 7:7-8, kita mengetahui bahwa firman Tuhan yang berbunyi “Mintalah, carilah dan ketuklah” tersebut adalah menyangkut kebenaran tentang kebutuhan orang percaya akan pertolongan Allah, secara khusus berupa hikmat-Nya. Kebutuhan seperti ini tentu saja sangat sesuai dengan kehendak Allah. Kalau demikian, itu berarti bahwa Matius 7:7-8 sama sekali bukan ayat yang membebaskan kita untuk berdoa sesuka hati, sesuai dengan selera dan kemauan kita. Melainkan ayat-ayat yang tetap membawa kita pada suatu pemahaman teologis tentang doa yang benar. Secara alkitabiah doa yang benar adalah doa yang tidak pernah keluar dari kerangka kesesuaian dengan kehendak, kebenaran dan kekudusan Tuhan. Matius 7:7-8 tidak pernah memberikan lisensi bagi doa yang berpusat pada keegosentrisan manusia.